Laman

Minggu, 14 Maret 2010

cerpen sekolah para setan

sekolah para setan

Posted in Uncategorized on Maret 14th, 2010

Sekolah itu bagai rumah setan. Isinya pun laksana setan. Tetapi, sebagaiannya laksana malaikat. Siswa memekau. Guru linglung laksana hilang akal. Kebingungan berputar. Lalu, membentur tembok-tembok melangit. Terpelanting sekian depa. Semuanya kandas pada keyakinan. Setan-setan terbang seperti keyakinan sebagian isi sekolah itu. Setan-setan tertawa sebagaimana para pemujanya. Para laknatullah itu menyerang laksana invasi AS terhadap Irak dan Afganistan. Mereka menyeringai. Melotot. Meneror. Kemudian, masuk ke jiwa yang kering.
’’Kubunuh kalian. Keparat. Kalian kotor. Manusia laknat. Pelaku maksiat,’’ Victoria, siswa di sekolah itu, menjerit. Matanya membelalak. Kedua tangannya meronta. Kedua kakinya menerjang. Empat temannya terpelanting dikebas. Voctoria lepas. Dia berlari. Siswa pintar itu seperti mengejar sesuatu. Terus berlari menuju labor. Jemarinya mengepal laksana petinju.

’’Otak dan mataku hilang di sekolah ini!’’ Victoria terus lari menuju labor. Tiba di lapangan basket, Pak Sabri mencegatnya. Guru itu mencekut kedua urat di bahunya sambil membaca beberapa ayat suci. Voctoria lemah. Dia terkapar tak sadarkan diri di laman.

’’Tolong kalian angkat ke musala,’’ Pak Sabri meminta bantuan kepada tiga siswa lelaki. Dua puluh menit, Victoria normal. Mukanya kusut bagai rambutnya juga. Badannya lemas bagai jiwanya juga. Siswa tonges itu tak kuasa bicara. Seluruh tubuhnya lemoi. Victoria direhatkan di majelis guru. Bu Murni terus memeluknya. Embun di balik kelopak matanya berjujai jatuh. Mukanya merah.

’’Pikiranmu jangan kosong. Pikirkan Allah. Hati kita harus berzikir. Baca apa yang bisa. Jangan lepaskan bibir dari-Nya. Berjiwalah bagai baja,’’ tangan Bu Murni membelai rambut Victoria. Mulut siswa itu terus mengucap. Bibirnya bersyahadat. Hatinya mungkin juga. Tujuh belas menit, Victoria mulai kuat.

Sepuluh menit berselang, dari lantai dua, pekik-pekau bersahutan. Para siswa berhamburan. Belajar pun bubar. Empat kelas di lantai dua tak tenang. Masing-masing kelas, satu siswa histeris. Keempat siswa digotong ke musala. Mereka merentang. Teman mereka terus memaksa ke musala. Siswa kemasukan itu terus berontak. Keempat siswa itu dibawa menuruni tangga. Pas jejak di anak tangga terbawah, sekitar sepuluh siswa di lantai dasar histeris pula. Para guru pontang-panting. Para siswa, juga demikian. Mereka berbuat, apa yang dapat dibuat. Tak ada mulut yang terkunci. Beberapa siswa yang pintar meruqiyah, coba berbuat. Para guru, tak mau ketinggalan. Ada yang membaca ayat suci, apa saja. Ada yang memukul dengan kata-kata. Beberapa siswa yang keselap, ada yang sudah sadar. Namun, dari kelas lain, ada lagi korbannya. Musala pun sesak seumpama napas ketika itu.

Sekejap saja, beberapa orang tua siswa berdatangan. Mereka diperbolehkan membawa pulang anaknya yang keselap. Sejurus setelah itu, bel pulang didendangkan. Padahal, hari baru pukul 09.00. Belajar pun gagal. Di beberapa sudut, ada kawanan setan terkekeh-kekeh. Si tubuh api itu merasa menang. Mereka melonjak-lonjak. Dengan tubuhnya, mereka telah membakar keyakinan. Semangat juga ikut hangus. Jiwa jadi legam. Ibadah belajar pun ikut kerontong.

’’Manusia tolol. Padahal, kita lebih hina daripada mereka,’’ beberapa setan di sudut sekolah berbual-bual. Tatapan mereka bagai belati karat yang siap menikam hati. Di sekeliling sekolah, ternyata mereka sangat ramai. Jumlah mereka sama seperti jumlah penghuni sekolah itu. Mereka tidur di beberapa labor. Sebagiannya, menghuni kelas.

Di musala.

’’Kalian mengotori rumah kami,’’ suara itu keluar dari mulut Leni, siswa yang masih belum siuman. Tapi, bukan suara Leni. Ijal dan Asri, dua siswa yang pandai meruqiyah, terus saja berupaya. Pak Sabri dan beberapa guru yang peduli ikut mendampingi mereka. Lebih pukul 12.00, barulah tuntas semuanya. Pak Sabri, beberapa guru, dan beberapa siswa tampak letih. Mereka seperti telah kehilangan ribuan kalori. Di atas, langit mendung. Semakin tebal, semakin legam. Dari laut, angin turun begitu kencang.

***

Sekolah itu pun ibarat sekolah walet. Di sekelilingnya, penuh rumah bertingkat. Isinya adalah walet dan para setan. Pemiliknya juga setan. Umumnya, bangunan bertingkat itu adalah rumah walet. Setiap hari sejak pukul 07.00, suara elektronik walet, mematahkan kecerdasan. Diskusi siswa ditelan suara itu. Ceramah guru kalah kuat. Beberapa kali, gangguan ini diekspose di koran. Tapi, suara elektronik walet tetap membingitkan. Perda walet jadi mubazir. Para pejabat berwewenang, tak pernah bertindak. Setiap hari, di sekolah itu, seperti hanya ada walet dan para setan. Mereka beterbangan melintasi dan menghisap jiwa. Jiwa jadi kering. Retak.

Sebelum ini, sudah beberapa hari para siswa keselap. Sudah pula diupayakan orang pintar untuk mengobatinya. Dari adat mematikan tanah, hingga tahlil, zikir, dan pembacaan Yassin. Kepercayaan-kepercayaan Tionghoa pun pernah membela sekolah ini. Ternyata, tak berlangsung lama. Tak sampai setahun, teror para setan itu kembali mengusik. Semakin parah, kian kacau-balau.

Pukul 08.00, pokok hari gelap. Hasil kesepakatan guru beberapa hari lalu, dilaksanakan ruqiyah massal di laman sekolah. Ustad Jamil, Ustad Aman, dan beberapa temannya memulai dengan ceramah. Para siswa, duduk di laman. Sebagiannya, duduk di kaki lima. Para guru, berjejer di kaki lima, berhadapan dengan siswa. Pokok hari makin pekat. Sebelum pembacaan ayat-ayat ruqiyah dimulai, beberapa siswa ketakutan. Ada yang duduk mendekati guru. Ketika pembacaan ruqiyah baru sepuluh menit, satu per satu siswa menjerit. Mereka meronta. Dari seorang siswa, bersambut ke siswa lainnya. Para guru pun ikut mengamankan suasana. Hujan renyai pagi itu tak menghalangi. Niat untuk nyaman belajar terus membaja. Ruqiyah terus berjalan. Selama itu pula, siswa-siswa memekau bergantian. Setelah berjalan 20 menit, hujan cukup deras membubarkan semuanya. Di musala, puluhan siswa diruqiyah semula.

Musala sesak. Siswa yang keselap, bergelimpangan. Mereka meracau. Ada yang hafiz Alquran. Ada siswa non-Tionghoa yang fasih berbahasa Cina. Ada pula yang bernyanyi dangdut. Beberapa siswa, merentang. Ada juga yang terus bergerak. Beberapa wartawan sempat mengabadikan dalam kameranya. Ini tentu berita hangat bagi mereka. Penanganan ruqiyah itu berjalan hingga pukul 12.00. Di sudut musala, beberapa wartawan mewawancarai Ustad Aman.

’’Makhluk apa sebenarnya yang mengganggu siswa ini?’’ tanya Taufik. Wartawan itu menyodorkan rekamannya.

’’Setan. Ini adalah gangguan setan. Mereka punya misi membodohkan kita. Juga mencelakakan kita. Itu ’kan sudah janji mereka dengan Allah taala,’’ Ustad Aman memaparkan.

’’Setan saja?’’ pertanyaan konyol dari Seto, wartawan yang lainnya.

’’Ya. Setan cinta dan setan lainnya. Setan cinta agak payah. Mereka mencintai siswa yang dirasuki. Kebetulan semua siswa putri. Mereka sulit untuk dipisahkan jika sudah jatuh cinta. Semoga dengan ruqiyah ini, Allah memperkenankan upaya kita,’’ wajah ustad itu tampak lesu sekali.

’’Apa ada jaminan?’’

’’Jaminan apa?’’

’’Jaminan mereka tak meneror lagi.’’

’’Tidak ada jaminan begitu. Maksiat bisa mengundang mereka. Mereka memang bertugas menyesatkan kita. Itu sampai kiamat.’’

Hari itu, belajar juga gagal. Beberapa orang tua, protes. Ada yang tak setuju. Sayangnya, mereka hanya tahu protes. Mereka pun tak mampu mencari jalan terbaik. Muka para guru dituding.

’’Elok anak saya tak sekolah, Pak. Kasihan dia tersiksa,’’ seorang ayah yang mengaku menyayangi Leni, anaknya.

’’Kalau gitu, kita kalah, Pak,’’ Pak Sabri membalas. ’’Ke mana Bapak campakkan kasih sayang kepada anak Bapak?’’

’’Tapi, saya tak sampai hati melihat dia begini terus,’’ tangkis orang tua itu lagi.

’’Kita harus terus melawan. Harus bisa melawan. Mereka adalah musuh kita yang nyata,’’ Pak Sabri mencoba memberi pengertian. Orang tua itu diam. Dia pergi diam-diam. Leni diangkut pakai becak. Badannya terkulai. Kepalanya telentok.

***

’’Ini adalah gambaran dosa kita,’’ Pak Sabri tercocol di depan semua. Beberapa guru, ada yang menggerutu karena tak setuju dengan Pak Sabri. Untuk mengakui suatu kesalahan, memang perlu perjuangan. Perjuangannya lebih berat daripada menghamburkan beribu kebaikan, lebih berat daripada melawan setan. Dari lantai 2, Pak Sabri terus memandang lingkungan sekolah. Matanya menatap labor, menatap wc, rumah-rumah walet, kelas. ’’Dasar setan. Mereka ada di mana-mana,’’ pikiran Pak Sabri bercelaru. Mata hatinya merasakan setan-setan bergentayangan di sekolah itu. Sepanjang perjalanan pulang dengan sepeda motor tuanya, Pak Sabri masih sedih. Di sekolah itu, terlalu banyak jiwa yang kering.

Seminggu kemudian, para setan kembali menyerang. Mereka menelan otak, mata, telinga, dan mulut sekolah itu. Dasar setan!***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar